Entah karena rajin internetan atau karena emang melek sama berita, rasanya selama dua minggu terakhir aku liat banyak banget kejadian yang jadi viral. Asa semua weh ngomongin. Mulai dari yang penting dan berskala internasional macam British Exit alias #Brexit (keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa), sampai Brexit yang nggak penting-penting amat bagi dunia internasional alias si Brebes Exit yang jadi hot topic selama arus balik mudik kemarin. Belum lagi Pokemon Go yang lagi heboh banget di media sosial, padahal belon resmi keluar di Indonesia tapi ada aja orang yang udah maen. Demi justifikasi sosial rela nge-crack app, hebat, gigih! Emang ya, kalau soal beginian orang Indonesia juaranya. Beginilah kalau orang kurang kerjaan dan kreativitas tinggi ketemu sama teknologi, hasilnya kadang menghibur, kadang juga bikin nasteung dan terheran-heran macam berita dari komunitas Flat Earth.
Menurut Social Media Week, secara statistik memang belum semua daerah di Indonesia masuk dalam cakupan jangkauan internet, hanya 34,9% dari 252 juta jiwa yang menjadi pengguna. Tapi jangan lupa juga, negara kita ini kan Jawasentris! Sekitar 141 juta jiwa tinggal di pulau sempit ini dan 52 juta di antaranya adalah pengguna internet aktif. Artinya lebih dari 60% pengguna aktif tersebut tinggal di Jawa. Wew serius amat. Emang dibawa sampai nikah?
Eh tapi bener, lho, kalau semisal, nih, kalian tau data beginian dan kalian cukup pinter ya bisa banget kan dijadiin “ladang” untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah. Menariknya, setahun lalu orang Indonesia lagi semangat banget dengan yang namanya belanja online. Nah, momen ini dilirik oleh salah satu developer aplikasi asal Jepang, Naver, untuk ngeluncurin produk terbarunya yang namanya Line@. Betul, yang lagi pada dihebohin Official Account sekarang itu, lho, karena kebijakan baru yang mengharuskan mereka untuk bayar.
Sebagaimana yang udah kalian liat di personal chat tiap OA yang kalian follow, hari Selasa kemarin ada kebijakan yang mengharuskan pengguna Line@, baik yang berorientasi profit maupun nggak, untuk membayar harga paketan agar akunnya bisa dioperasikan “sesuai kebutuhan”. Harga yang ditawarkan pasti sebanding dengan apa yang didapatkan, akun basic hanya dapat nge-post berapa biji lah dalam sebulan. Say good bye aja ke akun zodiak atau golongan darah yang jadi bacaan kalian tiap hari. Akun premium punya tawaran lebih banyak, post nggak terbatas, multimedia chat, dan lain sebagainya dengan harga yang mantap sekali ya mulai dari 700 ribu perbulannya. Udah seharga ngekos sebulan di Jatinangor aja tuh. Tentu hal ini yang bikin para pemilik OA dengan ribuan followers itu buat petisi untuk petinggi Naver dan Line Indonesia. Mereka menganggap bahwa hal ini menghambat penyebaran informasi baik berupa pendidikan, kesehatan, berita, dan pengetahuan umum, bahkan opini radikal yang ngundang banyak komen hot di kolomnya.
Tapi menurut aku, sih, ya, kita juga musti liat lagi sebenernya apa, sih, fungsi Line@ itu sendiri. Kalau masih punya kuota, coba cek aja website Line@, mereka sendiri memperkenalkan diri dengan kalimat:
“… Akun LINE@ memungkinkan Anda menjangkau khalayak yang lebih luas dan memanfaatkan LINE untuk bisnis. Jadikan “teman” untuk mendekatkan hubungan Anda dengan pelanggan dan penggemar.”
Tah! Kumaha tah! Kalau diperhatiin juga, di negara pengguna Line lainnya seperti Jepang dan Singapura, akun Line@ memang digunakan untuk bisnis. Dulu waktu jaman belon verified phone number, aku suka ganti VPN buat dapet stiker gratisan, nge-add OA luar biar dapet stiker. Kalau diinget-inget lagi, sembari liat stiker yang udah diunduh, ya emang bener, di luar teh Line@ dipakai sama perusahaan yang cukup terkenal. Di negara dengan bisnis hiburan tinggi seperti Korea Selatan dan Jepang malah bikin OA buat artis-artisnya agar bisa “interaksi” sama fansnya via Line. OA sendiri juga memang awalnya isinya para artis, bukan? Coba inget-inget pas pertama kali muncul fitur “Official Account”, pasti isinya kalau nggak artis K-Pop, ya artis Jepang. Terus baru setelah beberapa bulan kemudian muncul versi Indonesia-nya, akun-akun lokal kemudian mulai muncul kayak akun Bunga Citra Lestari, Afghan, sampai akun Alfamart.
Entah sejak kapan, tapi pastinya baru-baru ini, Line@ muncul dengan fitur yang lebih merakyat, di mana manusia biasa macam admin OA zodiak favorit kamu atau ya nggak usah jauh-jauhlah, admin ROI, bisa ikut memanfaatkan teknologi serupa. Peluang ini juga diliat sama orang Indonesia nan kreatif dan berjiwa ingin gampangnya dengan membuat akun-akun Line@ yang rada nyimpang dari tujuan utama pembuatan aplikasi tersebut. Memang, tujuannya baik dan menghibur, memberi informasi seputar acara, pengetahuan tentang Nusantara, info kesehatan, bagi-bagi buku, sampai pelepas kejenuhan dengan hiburan receh yang ringan-ringan saja itu. Hal yang dipermasalahkan oleh para pemilik OA tentu saja harga paketannya yang aduhay sementara akun tersebut bukan merupakan akun bisnis profit. Biasanya hanya UKM, media independen (kayak ROI wayayaw), forum masyarakat online, dan orang-orang dengan selera humor picisan yang aktif mengisi timeline kita.
Apa kebijakan Line@ yang baru itu salah? Nggak juga, sih, karena kalau liat website atau description app di playstore juga da emang buat bisnis. Tapi mungkin pihak Naver atau Line Indonesia juga nggak tau akan hadirnya akun-akun receh dan pembagi “ilmu” gratis yang punya banyak followers itu sebenernya non-profit oriented, nyieunna oge ngan ukur heureuy hungkul. “Dengan harga segitu meningan beli domain deh, domain mah setahun 300 ribu, lah ini sebulan semahal itu”. Emang, sih, bener, cuma followers-nya ada Line, enakan di Line, gampangan di Line, yakan? Nah, sekarang ya kita liat aja, apakah petisi yang semua OA personal chat-in itu akan berpengaruh? Atau malah kita bakalan melihat migrasi cyber ke platform berbeda sebagaimana yang ditulis user di kolom review Line@ di playstore? Satu hal aja, sih: internet itu dinamis, internet itu bisnis.
Comments are closed.